Artikel ini adalah susulan daripada artikel sebelumnya bertajuk AKIDAH JEMAAT AHMADIYAH.
JAWABAN BEBERAPA KERAGUAN
Dengan keterangan-keterangan tersebut itu sudah jelas bahwa segala i’tiqad dan kepercayaan Ahmadiyah itu benar, karena berdasarkan kepada Al-Quranul-Majid dan Hadis-hadis Nabi, maka segala pengakuan dan kepercayaan yang berlawanan dengan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan pengakuan dan kepercayaan Ahmadiyah.
Ahmad Dahlan pernah mengemukakan tiga pertanyaan kepada Maulana Iyaz:
1. Bagaimanakah i’tiqad Qadiyani terhadap Allah ta’ala, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Quranul-Karim?
2. Siapakah yang semulia-mulia makhluq Allah?
3. Kepada siapa wahyu akan diturunkan sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bagaimana kepercayaan Qadiyani kepada Al-Masih, Al-Mahdi dan Mirza Ghulam Ahmad?
Maka, beliau telah menjawab begini:
Jawaban pertama: Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu dengan seorang pun pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, af’al-Nya (perbuatan-Nya) dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Nabi dan Rasul dan Khaatamun-Nabiyyin, tiada Nabi dan Rasul (yang membawa syari’at baru) sesudahnya dan Al-Quranul-Karim itu Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan perkataan yang diada-adakan oleh manusia” …
Jawaban kedua: Berkenaan dengan pertanyaan yang kedua Maulana Ghulam Husain Iyaz berkata: “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ialah semulia-mulia makhluq dan tidak ada seorangpun yang lebih mulia daripadanya”.
Jawaban ketiga: Berkenaan ada wahyu atau tidaknya sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu maulana Ghulam Husain Iyaz menjawab: “Wahyu (yang mengandung syari’at baru) itu tiada turun kepada siapa jua sesudah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun wahyu (yang tidak mengandung syari’at baru) itu diturunkan kepada orang lain sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu”.
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Maulana Iyaz itu cukup untuk memuaskan hati orang-orang yang jujur, dan dengan jawaban-jawaban yang pendek ini mereka yang belum mengenal Ahmadiyah itu dapat mengetahui kepercayaan dan i’tiqadnya.
Apa jawaban Ahmad Dahlan terhadap keterangan yang pendek tetapi tepat ini? Bacalah apa katanya: “Pengakuan yang telah tuan zhahirkan ini berlainan dengan pengakuan atau keterangan yang menjadi i’tiqad Qadiyani yang batin” (Musang Berbulu Ayam, hal. 6)” Perkataan Ahmad Dahlan ini menunjukkan bahwa dia tidak berani menyalahi keterangan-keterangan yang telah dikemukakan oleh Maulana Iyaz, maka oleh karena itulah dia mencari jalan lari dan menuduh Ahmadiyah mempunyai dua macam i’tiqad:
1. I’tiqad yang benar yang dijelaskan oleh Maulana Iyaz dan
2. I’tiqad yang tidak benar yang disebutkan oleh Ahmadiyah katanya.
Maka untuk membantah utusan Ahmadiyah dia menuduh Ahmadiyah lebih dahulu dengan beberapa tuduhan, kemudian dia sendiri pula yang menentangnya. Padahal Ahmadiyah tidak beri’tiqad dengan apa pun yang diada-adakan Ahmad Dahlan itu.
Pembaca yang budiman! Sekarang marilah kita memperhatikan keterangan-keterangan Ahmad Dahlan itu. Dia berkata bahwa Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam sudah menyebutkan wahyunya tentang Al-Quran itu begini:
Bahwasanya Al-Quran itu Kitab Allah dan perkataan-perkataan yang keluar dari mulutku (Mirza).
Inilah alasannya untuk membantah keterangan-keterangan Maulana Iyaz yang nyata itu. Adapun yang menjadi musykil baginya di sini ialah siapakah yang dituju dengan kata “mulutku”. Tuhan Allah atau Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam? Dia mengira bahwa kata itu ditujukan kepada Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam, Jika begitu ilham itu menunjukkan bahwa Al-Quran itu keluar dari mulut beliau.
Tuan-tuan yang terhormat! Adapun susunan bahasa Arab itu bukanlah seperti susunan bahasa-bahasa lain, karena bahasa itu sangat luas dan undang-undangnya pun sangat luas pula, jika kita hendak menyamakan susunannya itu dengan susunan bahasa-bahasa lain maka sudah pasti kita akan keliru, saya kemukakan lima contoh ayat Al-Quran saja di sini, silakan tuan-tuan memperhatikan:
Pertama: Firman Allah:
Inilah ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan benar, wahai Muhammad! (Al-Baqarah, 2:253)
Kata “Kami” dalam ayat tersebut ditujukan kepada siapa? Berlainankah dengan perkataan “Allah”?. Jika berlainan, ditujukan kepada siapa kata “Kami” itu?
Kedua: Firman Allah:
Mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Kami, maka Allah telah menyaksikan mereka karena dosa-dosa mereka (Ali-Imran, 3:12).
Perhatikanlah kata “Kami” dan kata “Allah”! berlainankah tujuan kedua kalimah itu? Tidak, sekali-kali tidak!
Ketiga: Firman Allah:
Demikianlah Kami (Allah) membalas orang yang berlebih-lebihan dan tidak beriman kepada ayat-ayat Tuhan-nya (Tha Ha, 20:128).
Siapakah yang dimaksud dengan kata “Kami” dan dengan kata “Tuhannya”? Berlainankah? Jika berlainan, cobalah tunjukkan siapakah yang membalas orang-orang yang berlebih-lebihan itu pada hari Qiamat?
Empat: Firman Allah:
Dia juga yang telah menurunkan air dari awan sesuai dengan kadarnya, maka “Kami” hidupkan dengannya tanah yang sudah kering (Az-Zuhruf, 43:12)
Silakan perhatikan ayat ini! Kalau kita hendak membahasakan susunannya menurut susunannya bahasa kita betapa susahnya nanti? Karena kata “Allah” dan kata “Kami” itu mempunyai satu maksud.
Kelima: Firman Allah:
Orang-orang yang telah mengafiri ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya. Mereka itu sudah putus harapan dari rahmat-Ku (Al-Ankabut, 29:24)
Siapakah yang dimaksudkan dengan kata “Aku” kalau bukan Tuhan?
Cobalah perhatikan! Bukankah susunan wahyu Hadhrat Ahmad itu sama dengan susunan ayat satu, empat dan lima? Sudah jelas bahwa maksud kata-kata “Aku” itu Hadhrat Ahmad sendiri pun tidak mengapa karena Al-Quranul-Majid itu ditafsirkan oleh banyak Ulama dan jika kita membaca Tafsir-tafsir mereka itu maka kita akan yakin bahwa tafsir sebagian ayat itu bukanlah tujuan ayat yang sebenarnya, bahkan sematamata rekaan penafsir itu saja. Maka dengan wahyu ini Allah sudah menyuruh Hadhrat Ahmad supaya menyatakan kepada manusia bahwa Al-Quranul-Majid Kitab Allah yang suci dan tafsirnya yang sebenarnya ialah dijelaskan oleh beliau itu di masa sekarang. Adapun turunnya Al-Quranul-Majid kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarnya dari mulut beliau itu sudah dipercayai oleh Hadhrat Ahmad sendiri dengan nyata beliau menulis:
Adapun Al-Quran itu tidak mengandung keraguan apa-apa dan inilah yang telah diturunkan dengan sebenar-benarnya kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah keluar dari mulut beliau itu, adakah kamu ragu-ragu dalam hal ini? (Al-Khuthbah Al-Ilhamiyah, hal. 94)
Pendek kata keterangan Ahmad Dahlan itu menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui cara orang-orang Arab itu bercakap-cakap dan ia tidak juga memperhatikan Al-Quran yang mengandung berpuluh-puluh ayat yang susunannya sama dengan susunan wahyu Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam itu, jika sekiranya dia sudah mengetahuinya, berarti sudah pasti dia tidak berlaku jujur dalam hal ini.
Ahmad Dahlan membantah lagi keterangan Maulana Iyaz, katanya: “Pengakuan tuan berkenaan dengan keesaan Allah itu adalah dusta, karena berlawanan dengan perkataan Mirza yang mengatakan dirinya sebagai “Anak Allah” di dalam kitabnya Al-Busyra, hal. 4 yang arti Firman Allah kepadanya: “Dengarlah , wahai anak-Ku Mirza!” (Musang Berbulu Ayam, hal. 6).
Dalam keterangan ini dia berdusta dengan nyata:
1. Katanya bahwa Al-Busyra itu kitab Hadhrat Ahmad as, padahal Al-Busyra bukan kitab beliau. Apa gunanya berdusta? Apa dengan kedustaannya itu dia akan mendapat rahmat dari Tuhan?
2. Pengakuan Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam yang disebutkannya itu tidak benar, karena ilham yang menjadi dasar bagi keterangan itu tidak benar karena ilham yang jadi dasar bagi keterangan itu tidak langsung. Menurut keterangan penyusun Al-Busyra satu ilham sesudah dipungut dari Al-Maktubatul-Ahmadiyah, Juz I, hal. 23, bunyinya “Asma’u wa ara” artinya Aku mendengar dan melihat. Kata Allah jadi sudah nyata, yaitu bahwa pengakuan itu salah tulis, maka perkataan “Wa ara” itu sudah tertulis “Waladiy” dan kesilapan itu sudah dibetulkan oleh penyusunnya, sehingga hal itu disiarkan dalam surat kabar harian “Al-Fadhal” tahun 9 bilangan 96 bahwa kalimat yang sebenarnya dalam ilham itu ialah “Wa ara” bukan “Waladiy” yang artinya anak-Ku.
Maka tidak syak lagi bahwa tidak ada ilham Allah “Asma’u waladiy” kepada beliau, yang ada ialah “Asma’u wa ara” Jadi, keterangan Ahmad Dahlan itu dusta semata-mata. Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam sendiri bersabda:
Allah itu Esa, kekal, berdiri dengan Dzat-Nya, Dia tidak beranak dan tidak pula mempunyai sekutu dengan siapapun.
Dan ini jugalah kepercayaan Ahmadiyah.
Ahmad Dahlan telah mengemukakan lagi satu ilham yang menurut fahamnya menunjukkan bahwa Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam mengaku menjadi anak Allah yaitu:
Engkau Mirza dari-Ku Allah setingkat dengan anak-Ku atau sebagai pangkat anak-Ku (Al-Istifta’, hal. 82)
Kami jawab: Tidak disebutkan dalam ilham ini bahwa beliau itu anak Allah, yang disebutkan ialah bahwa beliau itu setingkat dengan orang yang dikatakan anak Allah oleh kaum Kristen yakni Isa ‘alaihis salam.
Kata waladiy itu berarti “Orang yang dianggap anakku” bukan artinya “anakku” sedang anggapan itu salah. Semua orang Islam beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak bersekutu dan Al-Quranul-Majid menafikan semua sekutu itu. Akan tetapi sudah tersebut dalam Al-Quran bahwa pada hari Qiamat Allah akan berfirman kepada mereka yang menyembah selain Allah itu:
Pada hari mereka dipanggil, dimanakah sekutu-sekutu-Ku (Hamim Sajdah,47).
Berkenaan dengan ayat ini sudah disebutkan di dalam tafsir Kabir dan tafsir Jami’ul-Bayan bahwa maksud dari kata “Sekutu-sekutu-Ku” ialah “Orang yang dianggap sekutu-Ku”, bukan sekutu yang sebenarnya karena Allah tidak bersekutu. Demikian jugalah arti kata “waladiy” dalam ilham beliau itu. Kita sama-sama maklum bahwa orang-orang Kristen menganggap Nabi Isa itu anak Allah sedang anggapan mereka itu tidak benar menurut firman Allah dalam Al-Quranul-Majid. Jadi, Allah menjadikan Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam sebagai Utusan dalam ummat Muhammad sebagaimana Isa ibnu Maryam itu dijadikan Utusan dalam ummat Nabi Musa as, maka Allah ilhamkan kepada beliau yang maksudnya “Engkau di sisi-Ku sepangkat dengan Nabi Isa yang dianggap oleh orangorang Kristen sebagai anak-Ku”.
Tatkala Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam memberi penjelasan berkenaan dengan ilham ini, beliau lebih dahulu menulis : “Allah ta’ala itu tidak beranak” Lihat hasyiah Haqiqatul-Wahyi hal. 86). Begitu juga beliau sudah memberi penjelasan berkenaan dengan ilham itu dalam kitab (Dafi’ul-Bala’ hal. 6). Melihat keterangan Ahmad Dahlan itu adalah mengingatkan kita satu pepatah Arab:
Kami orang Ahmadiyah beriman bahwa penghulu segala makhluq ialah Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepercayaan itu juga sudah dikemukakan oleh Maulana Ghulam Husain Iyaz kepada Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya. Tetapi dia meminta keterangan itu dengan berkata: “Adapun pengakuan tuan Ghulam Husain Al-Fadhil mengatakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu semulia-mulia makhluq itupun bohong karena berlawanan dengan wahyu Mirza yang tersebut dalam kitabnya “Ainah Kamalati Islam, hal. 124” yang bunyinya: “Aku Mirza lebih mulia daripada Muhammad” (Musang Berbulu Ayam, hal. 7).
Demi nama Allah yang Maha mengetahui perkataan itu atau perkataan yang semacam itu tidak ada di dalam Kitab itu. Perkataan Ahmad Dahlan ini adalah satu kedustaan yang dia buat sendiri.
O Tuhan adakah orang Islam yang begitu zhalim dan pembohong? O Tuhan! Ada jugakah Ulama yang hitam mulai dari muka sampai kehatinya di atas muka bumi ini? Perkataan Ahmad Dahlan itu adalah berisi “fitnah”, semata-mata, sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Maulana Iyaz. Di sini saya juga menyeru jika Ahmad Dahlan mempunyai rasa kemanusiaan, kejujuran dan keislaman sedikit saja, cobalah dia tunjukkan perkataan itu dari kitab “Ainah Kamalati Islam” atau selainnya. Kalau dia tidak dapat menunjukkan, maka jelaslah wahai pembaca yang jujur! Bahwa Ahmad Dahlan itulah sebenarnya “Musang Berbulu Ayam” dan pendusta besar, sebaliknya saya hendak mnyebutkan pula apa yang sebenarnya tersebut dalam kitab Ainah Kamalati Islam itu! Sesudah Hadhrat Ahmad as menulis bahwa Allah sudah memberi bermacam-macam nikmat dan rahmat-Nya kepadanya, lalu beliau bersabda:
Semuanya itu dari berkat-berkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bayangan (Ahmad) telah mengikuti asalnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia sudah melihat perkara-perkara yang ajaib dan kata beliau “Aku tidak takut akan orang-orang yang suka menghinakan dan juga orang-orang yang suka mencercakan dan segala hal itu saya serahkan kepada Allah saja (Miratu Kamalati Islam, hal. 7)
Jadi, Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam itu sebagai bayangan sedang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagai asal.
Sudahkah pembaca melihat apa yang ditulis oleh Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam dalam kitab itu? Baca lagi sabda beliau ‘alaihis salam, berikut ini:
Matikanlah kami dalam golongannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bangkitkanlah kami dalam umatnya dan berilah pada kami minuman dari mata airnya dan jadikanlah itu minuman kami yang tetap, dan jadikanlah ia Nabi Muammad shallallahu ‘alaihi wa sallam syafi’ (yang memberi syafa’at) dan musyaffa’ (yang pernah syafa’atnya dikabulkan) bagi kami di dalam dunia dan di akhirat, wahai Tuhanku, kabulkanlah doa kami ini!” Miratu Kamalatai Islam, hal. 366).
Dalam kitab itu juga beliau‘alaihis salam telah menulis lagi:
Dan kami beri’tiqad bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada semua Rasul dan beliau berpangkat Khaataman-Nabyyin dan lebih mulia daripada semua manusia yang akan datang nanti dan yang sudah berlalu (Miratu Kamalati Islam, hal. 387).
Inilah tiga keterangan dari berpuluh-puluh keterangan yang telah disebutkan dalam kitab itu, bandingkanlah keterangan-keterangan ini dengan kedustaan dan kepalsuan Ahmad Dahlan tersebut. Dia hendak meludahi bulan, akan tetapi mukanya sendiri yang terkena ludah itu.
Saudara-saudara yang mulia! Allah ta’ala berfirman bahwa ayat-ayat Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian:
1. Ayat-ayat muhkamat yang maksudnya jelas dan nyata.
2. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya tidak begitu jelas kalau tidak diperiksa betul-betul dan kalau tidak disesuaikan dengan ayat-ayat muhkamat.
Adapun menurut firman Allah orang-orang yang tidak jujur dan hatinya tidak lurus dan suka mengadakan fitnah, maka mereka itu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat saja, sedang ayat-ayat muhkamat yang menjadi asal untuk memahami mutasyabihat itu dibuang ke belakang (Lihat surat Al Imran, 3:7). Begitu jugalah kelakuan Ahmad Dahlan terhadap wahyu Allah kepada Ahmad ‘alaihis salam. Dengan demikian, benarlah sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Ulama yang semacam ini:
Dari mereka itulah keluar barmacam-macam fitnah (Misykatul-Mashabih kitabul-ilmi)
Tuan-tuan pembaca! Sekarang marilah kita memperhatikan beberapa keterangan yang sudah dikemukakan di dalam buku (Musang Berbulu Ayam, hal. 37; 43; 47). Akan tetapi sebelum saya jelaskan kepada tuan-tuan, pembaca dipersilakan membaca sekali lagi kepercayaan Ahmadiyah kepada Allah yang sudah disebutkan tadi.
Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam bersabda lagi:
Tuhan kami adalah Tuhan Yang Satu, Yang Qadim dan Yang tidak ada permulaan-Nya (Mawahiburrahman, hal. 12).
Beliau ‘alaihis salam menulis lagi berkenaan dengan Allah ta’ala:
Tidak ada yang serupa dan yang sama dengan-Nya (Titimmah Chaqiqatul-Wahyi, hal. 36)
Pendek kata I’tiqad kami Ahmadiyah terhadap Allah itu ialah i’tiqad seorang Islam sejati, mengikuti apa yang telah disebutkan dalam Al-Quranul-Majid dan Hadis-hadis yang sahih, maka orang yang menuduh kami beri’tiqad salah, maka ia akan bertanggung jawab atas tuduhannya itu di hadapan Allah pada hari Qiamat.
Ahmad Dahlan berkata bahwa Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam menulis:
Bahwasanya Allah itu mempunyai batas panjang dan lebar dan mempunyai beberapa banyak kaki dan tangan yang tidak terhitung dan tidak terhingga (Taudhihul-Maram, hal. 85) (Lihat Musang Berbulu Ayam, hal. 46).
Tuan-tuan yang terhormat! Kitab Taudhihul-Maram sekarang juga ada pada kami. Perkenankan apa yang telah disebutkan olehnya itu tidak ada di dalam kitab itu. Ya, pada hal. 74 dan 75 beliau sudah menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan segala alam dan Dia juga yang memeliharanya. Kalau Dia tidak memelihara sesaat saja sungguh semua alam ini akan binasa pada saat itu juga. Jadi, hubungan alam dengan Allah itu adalah sebagai perhubungan badan dengan ruh. Untuk memahamkan hal ini boleh dikatakan bahwa Tuhan sebagai ruh dan semua alam ini sebagai anggotanya “Maka inilah satu missal untuk menyatakan sedikit perhubungan alam dengan Tuhan Allah”. Kata beliau. Jadi, agar pembaca dapat mengerti sedikit keadaan hububungan Allah dengan alam ini, beliau mengemukakan satu pemandangan, bukan berarti beliau beri’tiqad bahwa Allah mempunyai kaki tangan dan batas panjang lebar seperti kita ini.
Baiklah, Ahmad Dahlan ribut mendengar permisalan yang dijadikan untuk memberikan pengertian dalam hal itu, maka bagaimana pula fikirannya tentang ayat-ayat dan Hadis-Hadis yang shahih yang tersebut di bawah ini:
1. Allah mempunyai wajah (muka), firman Allah:
Akan tinggal (selamat) muka Tuhan engkau, Yang Maha Agung dan Mulia (Ar-Rahman, 5:27).
2. Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai dua tangan, firman Allah:
Kedua tangan Allah itu terbuka (Al-Maidah, 5:65).
Bahkan menurut ayat lain Allah mempunyai banyak tangan, lihatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Dan langit, Kami meninggikan itu dengan kekuatan tangan-tangan, dan sesungguhnya Kami adalah Yang Maha-meluaskan (Adz-Dzariyat, 51:48)
Apakah mereka tak melihat, bahwa Kami menciptakan ternak untuk mereka dari apa yang dikerjakan oleh tangan-tangan Kami, lalu mereka menjadi pemilik dari (ternak) itu (Ya Sin, 36:72)
3. Bukan saja Allah ta’ala mempunyai tangan, bahkan mempunyai jari-jari juga. Telah tersebut dalam Hadis yang shahih begini:
Hati semua manusia adalah diantara dua jari dari jari-jari Allah Yang Pengasih itu (Hadis Muslim, Misykatu Mashabih, babul-Iman bil-qadar)
4. Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai betis juga, firmannya:
Pada hari Qiamat akan dibuka betisnya (Al-Qalam, :42)
Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
Pada hari Qiamat Allah akan membuka betis-Nya (Al-Bukhari, Muslim dan Misykat babul-Hasyr)
5. Allah ta’ala mempunyai kaki juga dan Dia akan memasukkan kaki-Nya di Neraka, Nabi bersabda:
Allah akan meletakkan kaki-Nya dalam Neraka itu (Al-Bukhari, Juz 4, bab Maa Jaa’a fii anna rahmatallah qariib)
Oleh karena Dia mempunyai kaki, maka Dia pandai berlari-lari juga, Nabi kita bersabda: Bahwa Allah ta’ala berfirman:
Siapa yang berjalan kepada-Ku, maka Akupun datang berlari-lari kepadanya (Muslim dan Misykat bab Dzikrullah).
6. Allah ta’ala itu duduk di atas Arsy, firman-Nya:
Tuhan telah duduk di atas Arsy (Yunus, 10:4)
Arasy itu berada di mana pula? Apakah di atas air? Bacalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Arasy-Nya adalah di atas air (Muslim dan Misykat, babul-Iman bil-Qadar)
Lihatlah pula firman Allah ta’ala berikut:
Arasy-Nya adalah di atas air (Hud, 11:7)
Arasy itu bergoncang dan bergoyang-goyang, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila orang fasiq dipuji, Allah marah dan Arasy-Nya bergoncang (Al-Baihaqi dalam Syiabil-Iman dan Misykat bab Hifzhul-Lisan)
Bahkan ada kursi-Nya yang mengeriut-riut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah akan turun di atas kursi-Nya dan kursi-Nya itu akan berkeriut-keriut (Ad-Darimi dan Misykat babul-Hirdhi wasy-Syafa’ah)
7. Allah ta’ala mempunyai rumah juga dan pada hari Qiamat sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta idzin beliau akan masuk di rumah-Nya itu, beliau bersabda:
Aku akan minta kepada Tuhan idzin untuk masuk di rumah-Nya (Al-Bukhari, Muslim dan Misykat, babul-Haudh) Kata ini tiga kali disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadis itu.
8. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berdiri di kanan Allah pada hari Qiamat, sabdanya:
Aku akan berdiri di kanan Allah kelak (Ad-Daelami dan Misykat, babul-Hardh).
Kalau begitu ada pula Tuhan mempunyai kiri! Saya yakin Ahmad Dahlan dan rekan-rekannya apabila membaca keterangan ini mereka akan sadar, maka dapatkah mereka mengatakan bahwa ayat-ayat lain palsu dan beranikah mereka mengatakan bahwa Hadis–hadis ini perkataan dari setan dan Iblis. Hadis-hadis itu dari penghulu segala Nabi. Perkataan-perkataan ini kurangkah dibandingkan dengan perkataan Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam yang telah disebutkan oleh Ahmad Dahlan itu?
Ahmad Dahlan berkata lagi dalam (Musang Berbulu Ayam, hal. 4) itu “Katanya ( Mirza dalam kitab yang tersebut berkata:
Allah telah membukakan perlindungan untukku dan di antaranya adalah Ia bergurau dengan aku beberapa kali.
Tuan-tuan! Perkataan ini tidak ada di dalam kitab Taudhichul-Maram dan tidak pula di dalam kitab Hadhrat Ahmad yang lain. Jadi, perkataan ini hanya kedustaan semata. Ahmad Dahlan dan kawankawannya tidak dapat menunjukkan perkataan itu dari kitab-kitab Hadhrat yang mulia itu walaupun segala setan mereka berkumpul seumur hidup.
Di samping itu saya hendak bertanya: Bagaimanakah pikiran Ahmad Dahlan mengenai beberapa perkara yang disebutkan di bawah ini:
1) Allah tertawa, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Nabi:
Orang itu akan tetap minta kepada Allah sehingga Allah tertawa (Al-Bukhari, Juz IV, babush-Shirath Jasu jahannam).
Berkenaan dengan kejadian itu juga, telah disebutkan bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa, para sahabat bertanya kepada beliau:
Mengapa engkau tertawa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Aku tertawa karena Tuhan Rabbul-‘alamin juga tertawa (Muslim dan Misykat babul-hardh wasy-Syafa’ah).
2) Pada hari Qiamat seorang hamba Allah akan berkata kepada-Nya:
Apakah engkau memperolok-olokkan hamba, sedangkan Engkau Rabbul-‘alamin?
Tuhan Allah ta’ala akan berfirman:
Aku tidak memperolok-olokkan engkau (Hadis Muslim dan Misykat babul-Hardh wasy-Syafaah).
Akan tetapi berkenaan dengan orang-orang munafiq Allah berfirman:
Allah memperolok-olokkan mereka (Al-Baqarah, 2:15).
Betulkah Allah ta’ala suka memperolok-olokkan?
3) Telah disebutkan dalam Hadis Al-Bukhari dan Muslim bahwa pada hari Qiamat Allah akan mendekatkan seorang mukmin dan akan meletakkan bahu-Nya di atasnya sehingga akan menyembunyikannya “ dari orang lain dan akan bercakap-cakap dengannya, bunyinya begini:
Allah akan mendekatkan orang mukmin dan akan memeluknya dan akan menyembunyikannya dari orang lain (Misykat babul-Hisab wal-Qashash).
Ketiga Hadis ini menunjukkan bahwa Allah tertawa, memperolokolokkan dan memeluk; bukankah itu sama artinya dengan bersendau-gurau?
Ahmadiyah yakin bahwa perkataan-perkataan yang semacam ini adalah sebagai kata-kata qiasan saja tidak boleh ditanggungkan kepada zhahir, akan tetapi saya menyalin beberapa ayat dan Hadis ini agar Ahmad Dahlan dapat mengetahui apa arti majaz dan istiarah dan apakah kata-kata majaz dan istiarah itu terdapat di dalam Kitab Allah dan Hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak?
Saya yakin kalau hati Ahmad Dahlan belum mati betul keterangan-keterangan ini akan dapat menimbulkan keinsafan, walaupun lidahnya yang kotor itu tidak mau mengakui kebenarannya.
Tidak, malahan manusia itu menjadi saksi terhadap dirinya. Walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya (Al-Qiamah, 75:15-16)
Sekarang saya hendak mengupas lagi satu keterangan yang telah dikemukakan dalam buku (Musang Berbulu Ayam, hal. 37, begini:
Bahwasanya Aku Allah beserta Rasul (Mirza), Aku Allah memperkenankan, berbuat salah dan berbuat betul (Al-Istifta, hal. 72).
Pernahkah tuan-tuan mendengar Allah berbuat kesalahan seperti tuduhan Kadzdzab ini?
Saya jawab: Sebenarnya siapakah yang pendusta dan siapakah yang benar? Persoalan ini akan jelas sekarang juga.
Telah disebutkan dalam kitab Lughatul-Munjid bahwa kata AKHTHO’AR RAJULU itu berarti AUQO’AHU FIL KHOTHOO’I yakni “Menyalahkan dan menyesatkan”. Jadi, arti kata UKHTHI’U itu dapat juga berarti “Aku menyalahkan dan menyesatkan”. Arti ini cocok (sesuai) benar dengan firman Allah ta’ala dalam Al-Quran:
Allah menyesatkan kebanyakan orang dengan Al-Quran ini (Al-Baqarah, 2:27).
Demikian kata ASHAABA itu memang berarti “Berbuat betul”, akan tetapi sesudah tersebut pula dalam kitab Al-Munjid ASHAABASY SYAI’A, ISTA’SHALAHU yakni “Membinasakan”. Jadi, artinya USHIBU itu ada juga yang berarti “Aku membinasakan”. Maka arti ini adalah sama dengan firman Allah:
Aku mengadzabkan siapa saja yang Aku kehendaki(Al-A’raf, 7:157).
Sudah jelas bahwa menurut bahasa Arab arti ilham Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam itu adalah “Aku menyalahkan dan membinasakan” dan arti itu tidak dapat disalahkan oleh Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya, karena arti lain sesuai dengan lughat Arab dan sesuai pula dengan ayat Al-Quranul-Majid.
Orang-orang kafir seperti Ahmad Dahlan itu berkata bahwa menurut ayat Al-Quranul-Majid, Allah itu penipu besar (na’udzu billah), karena telah disebutkan dalam Al-Quran:
Orang-orang Yahudi telah menipu dan Allah pun menipu, sedang Allah sebaik-baik penipu.(Ali Imran, 3:54).
Tentu Ahmad Dahlan setuju benar dengan mereka! Beginilah jadinya bagi seorang manusia yang tidak berlaku jujur terhadap orang lain dan beginilah hasilnya kalau manusia tidak suka mendalami keterangan-keterangan orang yang dipandang sebagai musuhnya.
Ahmad Dahlan telah mengemukakan lagi satu wahyu Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam yaitu:
Sesungguhnya Aku Allah beserta Rasul (Mirza), Aku berdiri, makan dan puasa (Al-Istifta, hal. 86).
Subhanallah, subhanallah, subhanallah baru kita dengar dari Isa Palsu ibnu Maryam, bahwa Allah itu makan dan berpuasa (Lihat Musang Berbulu Ayam, hal. 37)
Ilham inipun sama dengan ilham yang terdahulu, oleh karena kitab Lughatul-Arab tidak diperiksa, maka difahami salah dan hanya salah fahamnya itulah yang dijadikan dasar tuduhannya yang kotor itu. Jika dia menyelidiki kitab-kitab lughat Arab lebih dahulu, tentu dia dapat mengetahui apa maksud ilham itu yang sebenarnya, akan tetapi oleh karena makksudnya bukan hendak mencari kebenaran, bahkan karena hendak mengadakan fitnah saja, maka dia tidak merasa perlu menyelidiki kitab-kitab lughat Arab itu.
Kata ASHUUMU pada istilah syar’I berarti “Aku berpuasa” akan tetapi artinya pada lughat itu “Aku berhenti”. Telah disebutkan:
yakni kata SHAAMA itu berarti “Dia berhenti dari makan dan minum, becakap-cakap, berjalan dan lain-lainnya”.
Semua keterangan ini telah disebutkan dalam kitab “Al-Munjid” sudah jelas bahwa arti SHOUMUN itu hanya “berhenti” saja sebenarnya.
Apa pula arti AFTHURU? Marilah kita periksa, sudah tersebut FATHORAS SYAI’A SYAQQAHU, AL-AMRU: IKHTARO’AHU WABTADA’AHU WANSYA’AHU (Al-Munjid), yakni kata FATHORA itu berarti: membelah-belahkan, mengadakan, memulai, menjadikan” Inilah artinya FATHORA.
Jadi, ilham itu tertulis : AFTHURU WA ASHUUMU artinya: Aku Allah mengada-adakan dan juga berhenti”. Apa pula maksudnya? Kalau kita baca satu ilham yang dahulu sebelum ilham ini, maka kita dapat mengetahui bahwa ilham itu berhubungan dengan adzab, ilham yang dahulu itu berbunyi:
Banyak penyakit akan dijangkitkan dan banyak manusia akan dibinasakan.
Sesudah ilham inilah, lalu disebutkan ilham tadi, maka sesudah itu maksud wahyu itu ialah bahwa adzab itu tidak akan berlaku terus-menerus bahkan terkadang Allah akan mengadakan adzab itu dan terkadang tidak.
Dalam kitab Al-Istifta’ itu juga Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam sendiri telah menulis: Bahwa ilham ini mengandung isyarat bahwa adzab taun terkadang akan berlaku dan terkadang tidak.
Alangkah jelas dan nyata maksudnya!
Begitu juga berkenaan dengan ilham: UKHTHI’U WA USHIIBU beliau ‘alaihis salam telah menulis pada kitab itu pula: SUBHAANAHU WA TA’AALA MIN AN YUKHTHI’A, artinya: Allah Maha-suci dari berlaku salah. Tatkala Ahmad Dahlan membaca dua ilham itu sudah tentu dia membaca pula dua keterangan ini, akan tetapi dia telah menyembunyikan keterangan-keterangan itu dengan sengaja. Perbuatannya ini sama benar dengan perbuatan orang-orang Yahudi dimasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apa yang difirmankan oleh Allah kepada mereka, dapat diulang lagi kepada Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya, yaitu:
Janganlah kamu mencampurkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah pula menyembunyikan yang benar sedang kamu mengetahuinya (Al-Baqarah, 2:42).
Ahmad Dahlan yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin sejati entah apa yang akan dikeluarkan oleh mulutnya yang kotor itu terhadap keterangan-keterangan berikut ini:
(1) Allah ta’ala menjadi kaki-tangan manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman:
Apabila Aku Allah cinta kepada seorang hamba, maka Aku menjadi telinganya yang ia mendengar, dan matanya yang ia melihat dan tangannya yang ia memegang dan kakinya yang ia berjalan (Al-Bukhari, kitabr-Riqaq babut-Tawadhu’).
Benarkah Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kaki manusia? Cobalah Ahmad Dahlan bertanya kepada syetannya tentang fatwa-fatwa Hadis ini.
(2) Allah mempunyai keraguan. Dalam Hadis tersebut, telah disebutkan pula firman Allah:
Aku Allah tidak bingung tentang sesuatu yang Aku hendak mengerjakan seperti Aku bingung tentang jiwa seorang mukmin yang dia tidak suka mati, sedang Aku tidak suka menyusahkannya.
Lihatlah Hadis yang sahih ini menunjukkan bahwa tatkala Allah hendak mencabut jiwa orang mukmin, maka Dia ragu dan bingung.
Bolehkah Allah bingung dan ragu-ragu?
(3) Telah disebutkan lagi dalam Hadis bahwa Allah ta’ala berfirman kepada hamba-Nya pada hari Qiamat:
Wahai manusia, Aku sakit, akan tetapi engkau tidak melihat Aku. (Muslim dan Misykat bab ‘Iyadatul-Maridh).
Apakah Allah juga dapat jatuh sakit?
Kalau Ahmad Dahlan berkata bahwa maksud Hadis ini sudah dijelaskan di dalam Hadis itu juga, maka kita jawab bahwa begitu juga maksud ilham Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam ini sudah dijelaskan disitu juga. Apakah Ahmad Dahlan tidak melihatnya? Saya sendiri belum mengetahui betul, akan tetapi saya dengar bahwa mata-kepala Ahmad Dahlan itu belum buta, wallahu a’lam.
Karena sesungguhnya bukan mata yang buta, melainkan yang buta ialah hati yang berada dalam dada (Al-Chajj, 22:47)
Sekarang saya hendak menerangkan berkenaan dengan ilham Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam, yaitu:
Maksudnya: Dan tiada Kami Allah mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian makhluq. “Ini ayat wahyu Allah kepada Mirza dan dikehendaki dengan dhamir ‘ka’ itu (engkau Mirza)”. Kata Ahmad Dahlan.
Saya jawab: Akan dijelaskan nanti bahwa para wali Allah dalam umat Islam ini sudah biasa menerima ayat-ayat Al-Quranul-Majid sebagai wahyu kepada mereka. Dan akan dijelaskan pula bahwa Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam mengaku dirinya menjadi murid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah saya jelaskan pula bahwa Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam itu adalah ZILLI, artinya bayangan bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kalau asal itu rahmat bagi segala alam, tentu zhill dan muridnya yang sebenarnya pun menjadi rahmat pula.
Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya tidak mengetahui bagaimana Allah cinta kepada para wali-Nya, akan tetapi orang yang mempunyai perhubungan dengan Allah dan yang sudah bergaul dengan para wali-Nya dan orang-orang yang suka membaca Tarikh mereka itu mengetahui benar bahwa wujud para Nabi dan para wali itu memang rahmat bagi manusia, kalau Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa para Nabi dan para wali itu bukan rahmat, bahkan laknat dan tidak ada wahyu lagi kepada seorang pun dalam umat Islam ini biarlah mereka itu berkata begitu kita tidak setuju dengan mereka itu. Dalam hal ini orang-orang yang mengaku bahwa hanya para Dajjal dan pendusta saja yang akan bangkit dalam umat Islam ini, bagaimana pula boleh berharap bahwa ada juga dalam umat Islam ini hamba-hamba Allah yang menjadi rahmat bagi dunia?
Dengarlah apa kata kata Hadhrat As-Sayyid Abdul-Qadir Al-Jailani di dalam kitabnya Futuhul-Ghaib, maqalah nomor 14) tentang hamba Allah yang setiawan itu katanya:
Yakni, oleh karena berkat wujud mereka itulah bumi dan langit itu selamat Sabda ini menyatakan bahwa para wali Allah itu memang rahmat besar bukan saja bagi manusia saja, bahkan bagi semesta alam.
Ada satu fitnah lagi yang ditaburkan oleh Ahmad Dahlan dengan pengaruh syeetannya di dalam kitab “Musang Berbulu Ayam, hal. 32”, yaitu “Fatihah Al-Qadiyani itu berbeda dengan Al-Fatihah yang termaktub dalam Al-Quranul-Majid, katanya.
Sebenarnya pada tahun 1924 telah diadakan satu konferensi semua agama di London, oleh karena pemuka-pemuka semua agama itu diundang untuk mengunjungi konferensi itu, maka di antara orang-orang Islam di India, Imam kita Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
ayyadahullahu ta’ala binashrihil-‘aziz diundang pula, pada waktu itu beliau telah mengarang sebuah kitab yang sangat penting yang diberi nama: “Al-Ahmadiyah atau Islam sejati”. Pada permulaan kitab itu beliau berdoa kepada Allah yang mengandung kalimah-kalimah dari surat Al-Fatihah itu. Oleh karena beberapa kalimah yang di dalam Al-Fatihah itu sudah dipakai doa, maka Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya ribut dengan mengatakan bahwa Al-Fatihah Ahmadiyah itu lain (na’udzubillah min dzalik) beginilah otaknya orang ini.
Tuan-tuan, para wali dan Ulama di masa dahulu selalu ingin mempergunakan ayat-ayat Al-Quranul-Majid dalam karangan-karangan dan senang juga menggunakan kalimah-kalimah Al-Quran dalam doa-doanya.
Telah disebutkan dalam Tafsirul-Duril-Ma’tsur, juz I, hal. 11, bahwa pada satu hari seorang sahabat berdoa kepada Allah begini:
Tatkala doa itu didengar oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyatakan kesukaannya, bukan seperti Ahmad Dahlan malah mengafirkan dan mendajjalkannya.
Cobalah tuan-tuan bandingkan doa tersebut dengan firman Allah dalam Al-Quran (Al-Fatihah, 1:1) yang berbunyi:
Dan ayat Al-Quran (Al-Baqarah, 2:116) yang berbunyi:
Telah tersebut lagi dalam Hadis (Misykat, bab Asmaa’ullah) bahwa suatu kali Nabi kita bersama dengan sahabatnya bernama Buraidah masuk masjid, beliau mendengar Abu Musa Al-As’ari berdoa begini:
Dan Hadis yang hampir sama dengan ini telah disebutkan juga dalam Hadis At-Turmudzi dan Abu Daud. Mendengar doa Abu Musa Al-Asy’ari ini beliau bersuka-cita pula. Bacalah doa ini dan bacalah pula surat Al-Ikhlash dan perhatikan bagaimana Hadhrat Abu Musa Al-Asy’ari telah menukar kalimah-kalimah surat Al-Ikhlash itu.
Sekarang saya minta kepada Ahmad Dahlan supaya menyeru kepada kawan-kawannya dari para Ulama dan Mufti-mufti dan saudara-saudaranya yang lain dan dipersilakan memperhatikan dengan pikiran yang tenang lagi sadar betapa beraninya sahabat Nabi menukarkan beberapa kalimah surat Al-Ikhlash dan ayat 118 dari surat Al-Baqarah itu?
Dan dipersilakan juga memperhatikan dengan perhatian yang tenang lagi insaf betapa beraninya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan mereka berbuat begitu?
Fatwa apa lagi yang mereka akan hadapkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat beliau, lalu hadapkanlah fatwa itu juga kepada Ahmadiyah, Ahmadiyah akan menerima fatwa itu dengan tangan yang terbuka dan fikiran yang tenang serta hati gembira insya Allah ta’ala.
Doa para sahabat tersebut adalah doa yang mengandung ayat-ayat Al-Quranul-Majid yang telah ditukar. Sekarang saya hendak mengemukakan beberapa syair dari Wali Allah Ibnu Arabi, yang mengandung beberapa ayat dan kalimah-kalimahnya sudah ditukar. Perhatikanlah dahulu ayat-ayat Al-Quranul-Majid dan sesudah itu perhatikanlah pula syair-syair beliau itu.
Ayat-ayat Al-Quranul-Majid
Syair Ibnu Arabi
(Lihatlah Al-Futuhatul-Makkiyah, Juz II, hal. 283)
Silakan baca lagi ayat-ayat Al-Quran yang tersebut di bawah ini:
Inilah 11 ayat dari surat At-Takwir dan Al-Qamar. Sekarang diharap tuan-tuan sudi memperhatikan syair-syair Hadhrat Ibnu Arabi pula, beliau berkata:
(Al-Futuhatul-Makkiyah, Al-Juz III, bab 330)
Lihatlah dalam 16 syair ini, berapa ayat Al-Quran yang ditukar dengan nyata, maka kita ingin mengetahui fatwa Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya terhadap Hadhrat Ibnu Arabi rahimahullah itu, karena beliau sudah mempergunakan banyak ayat Al-Quran dalam syair-syair itu, bahkan ayat-ayat itu sudah ditukar-tukarkannya pula.
Lagi, kami orang-orang Islam membaca kalimah: LAA ILAAHA ILLALLAAH MUHAMMADUR RASUULULLAH, maka kalimah LAA ILAAHA ILLALLAAH itu sudah ditukar oleh As-Sayyid Asy- Syarif Ali bin Muhammad bin Ali As-Sayyid Az-Zaini Abil-Hasan Al-Husaini Al-Jurjani Al-Hanafi (yang wafat pada tahun 816), maka dia menulis pada halaman yang pertama dalam kitabnya (At-Ta’rifat Al-Jurjani) begini:
yakni “Ingatlah bahwa tidak ada nikmat-nikmat melainkan nikmat Allah saja”. Apa beliau ini juga akan diberi gelar Al-Kadzdzab (pendusta) dan Dajjal oleh Ahmad Dahlan itu?
Pendek kata bahwa:
(1) Yang tersebut dalam permulaan Kitabul-Ahmadiyah itu hanyalah doa saja yang mengandung kata-kata Al-Fatihah.
(2) Itu bukan Al-Fatihah Ahmadiyah karena tidak seorang Ahmadiyah pun pernah mengakukan demikian.
(3) Pada permulaan doa itu tidak ada BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM, yang menjadi satu ayat dari Al-Fatihah itu.
(4) Menurut fatwah Ahmadiyah haram hukumnya Al-Fatihah dalam sembahyang itu diganti dengan doa tersebut.
(5) Semua Al-Quranul-Majid yang dicetak oleh Jamaah Ahmadiyah mengandung Al-Fatihah saja, bukan doa itu.
Tuan Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin juga menyalahkan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isa berbapak (Lihat Perisai Orang Beriman, hal. 34)
Saya jawab: Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam menulis dalam kitabnya begini:
Allah telah menciptakan Nabi Isa tanpa bapak, hanya dengan kekuasaan-Nya saja (Mawahibur-Rahman, hal. 72).
Beliau ‘alaihis salam menulis lagi dalam kitabnya begini: Menurut pengajaran Al-Quranul-Majid kita beri’tiqad bahwa Siti Maryam itu hamil (mengandung) hanya dengan kekuasaan Allah (Casymah Masihi, hal. 18)
Kalau ada orang Ahmadiyah yang mengemukakan keterangan yang tidak setuju dengan keterangan ini, maka Jamaah Ahmadiyah tetap menyalahkannya biarpun dia Muhammad Ali maupun Khawajah Kamaluddin atau lainnya. Jadi, Ahmadiyah tidak salah dalam hal ini.
Ahmad Dahlan menulis lagi:
Kami memberikan kabar-suka kepada engkau dengan mendapat seorang anak laki-laki yang menzhahirkan kebenaran dan ketinggian. Ayat ini dicuri Mirza Ghulam Ahmad dari surat Maryam ayat 6 (Musang Berbulu Ayam, hal. 36).
Kalau begitu Hadhrat Mujaddid Al-Alfits-Tsani ‘alaihir-rahmah itu juga seorang pencuri besar, karena beliau telah mendapatkan ilham:
Kami Allah memberi kabar-suka kepadamu tentang jadinya seorang anak laki-laki yang bernama Yahya (Maqamatul-Imam bir-Rabbani, hal. 36, cetakan Mesir).
Cobalah Ahmad Dahlan membaca ayat 7 surat Maryam sekali lagi dan bandingkan ilham ini dengan ayat itu, samakah atau tidak?
Tatkala anak itu dilahirkan, maka Hadhrat Imam Rabbani menamai dia dengan Muhammad Yahya menurut Ilham itu. Saya bimbang kalaukalau Ahmad Dahlan berkata pula bahwa Hadhrat Al-Imam Ar-Rabbani sudah mencuri anak itu dari Tuhan Allah!
Dengan keterangan-keterangan tersebut, tuan-tuan para pembaca dapat mengetahui bahwa Ahmad Dahlan sangat berani mengadakan fitnah dan suka berkata yang tidak benar, maka segala fitnah dan kedustaan itu adalah seperti buih di air yang akan hilang begitu saja. Allah ta’ala berfirman:
Jadi, sudah nyata bahwa tidak ada satupun keterangan yang tidak menunjukkan bahwa kepercayaan dan pengakuan Ahmadiyah itu menyalahi Islam bahkan segala kepercayaan Ahmadiyah bersesuaian benar dengan ayat-ayat Al-Quranul-Majid dan Hadis-hadis yang shahih.
Siapakah Ahmadi itu?
Sesudah i’tiqad Ahmadiyah dijelaskan, ada baiknya juga saya jelaskan siapakah yang dikatakan Ahmadiyah menurut keterangan Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam, beliau bersabda:
Tidak boleh masuk ke dalam Jamaah kita ini melainkan orang yang telah masuk Islam dan telah mengikuti Kitab Allah Al-Quranul-Majid dan sunnah-sunnah penghulu segala makhluk (Muhammad) dan telah yakin benar berkenaan dengan Allah dan Rasul-Nya Yang Maha-mulia dan Maha-pengasih dan Qiamat, Sorga dan Neraka, lagi dia berjanji dan berikrar benar-benar bahwa dia tidak akan mencari agama selain dari Islam dan bahwa dia akan mati di atas agama yang suci ini dengan berpegang teguh menurut Kitab (Al-Quranul-Majid) Allah Yang Maha-tahu (Mawahibur-Rahman, hal. 96)
Berkenaan dengan Jamaah inilah Abul-Hasan Ali Al-Husaini itu berkata: Jamaah Ahmadiyah ini memusuhi Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dia menentang Islam dalam segala hal (Al-Qadiyaniah hal. 21)
Kami tidak heran kalau Ulama di masa sekarang berani berdusta dan berani menaburkan benih fitnah kepada manusia, karena hal ini telah dikabarkan lebih dulu oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tuan-tuan para pembaca yang mulia, perhatikanlah keterangan beliau yang tersebut dalam kitab (Kisyti Nuh, hal. 17), artinya begini: Wahai orang yang mengaku dirinya menjadi Ahmadiyah! Janganlah kamu mengira sudah bai’at dan bai’at itu saja sudah cukup bagi kamu, Allah subhanahu wa ta’ala melihat hati kamu, maka Dia akan berlaku terhadap kamu menurut niat kamu, wahai murid-muridku, dengarlah baik-baik, aku memenuhi kewajibanku dengan memberikan keterangan ini. Dosa itu adalah semacam racun, janganlah kamu makan racun itu; durhaka kepada Allah ta’ala itu adalah maut (ruhani), maka jauhilah itu! Berdoalah, agar kamu terpelihara, orang yang tidak yakin waktu dia berdoa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha-kuasa (Qadir) ia bukan dari Jamaahku; orang yang tidak membuang kedustaan dan penipuan itu bukan dari Jamaahku; orang yang tamak kepada dunia dan ingat pun tidak kepada Akhirat itu bukan dari Jamaahku; orang yang mendahulukan urusan dunia daripada urusan agama itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak memelihara dirinya dengan sebenar-benarnya dari dosa dan dari amalan yang jahat, yakni minum tuak (arak), berjudi, memandang perempuan dengan nafsu birahi, berlaku khianat, memakan uang suap dan tidak bertobat dari segala perbuatan jahat itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak mengerjakan sembahyang lima waktu sehari-semalam itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak istiqamah berdoa kepada Hadhrat Allah ta’ala dan tidak selalu tunduk kepada-Nya itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak menjauhi kawan-kawan yang jahat yang merusak kelakuan dan keimanannya itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak menghormati ibu-bapanya dan tidak menuruti kata-katanya yang baik yang tidak berlawanan dengan Al-Quranul-Majid dan tidak memelihara mereka itu bukan dari Jamaahku; orang-orang yang tidak bergaul dengan baik dan tidak berlaku lemah lembut kepada istrinya dan kaum kerabatnya itu bukan dari Jamaahku, orang yang tidak berbuat baik kepada tetangganya bukan dari Jamaahku; orang yang tidak mau memberi maaf kepada orang yang bersalah yakni dia mendengki dan dendam saja itu bukan dari Jamaahku; tiap-tiap suami yang berlaku khianat kepada istrinya dan tiap-tiap istri yang berlaku khianat kepada suaminya itu bukan dari Jamaahku; orang yang melanggar perjanjian bai’atnya itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak merpercayaiku sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih yang dijanjikan dengan sebenar-benarnya itu bukan dari Jamaahku; orang yang tidak taat kepadaku dalam perkara-perkara yang baik itu bukan dari Jamaahku; orang yang duduk dalam majlis para musuh Ahmadiyah serta dia setuju dengan mereka itu bukan dari Jamaahku; tiap-tiap orang yang berbuat zina, yang fasiq, yang minum tuak (memabukkan) atau yang mencuri, yang main judi, yang khianat, yang makan suap, yang merampok, yang zhalim, yang berdusta kepada kawan sejawat mereka itu dan orang yang suka menuduh saudarasaudaranya, kalau mereka itu tidak bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu bukan dari Jamaahku; Dosa-dosa ini adalah sebagai racun, kamu tidak akan hidup kalau kamu memakan racun-racun itu; dan kegelapan tidak dapat berkumpul dengan nur dalam satu tempat; tiap-tiap orang yang tidak berlaku lurus terhadap Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak akan mendapat berkat dari-Nya sebagaimana orang-orang yang bersih hatinya itu akan mendapatkannya. Berbahagialah orang-orang yang membersihkan hatinya dan memenuhi perjanjian kesetiaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka itu tidak akan disia-siakan; dan Allah tidak akan membiarkan mereka itu menjadi hina karena mereka itu menyerah kepada-Nya dan Dia akan memelihara mereka itu”.
Dalam kitab itu juga beliau bersabda lagi: “Orang-orang yang menjadi muridku itu perlu yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu Qadir lagi Qayyum dan Khaliqul-Kulli (yang menjadikan segala sesuatu), yang tidak ada permulaannya dan tidak pula ada penghabisannya, Dia tidak berubah, Dia tidak diperanakkan dan tidak pula beranak, Dia suci dari mati, meskipun Dia jauh tetapi Dia dekat juga, dan meskipun Dia dekat tetapi Dia jauh juga, Dia itu Esa, tetapi Dia menyatakan kekuasaan-Nya dengan bermacam-macam jalan … perlu kamu beriman kepada-Nya, dan perlu kamu utamakan Dia melebihi dirimu sendiri dan daripada kesenanganmu dan perlu kamu dahulukan hubungan dengan Dia daripada segala hubungan yang lain, turutilah Dia dengan sebenar-benarnya dan setialah kepada-Nya, orang-orang dunia tidak mendahulukan Dia daripada kaum kerabatnya, tetapi kamu perlu mendahulukan Dia daripada segala sesuatu. Memperlihatkan tanda-tanda rahmat-Nya adalah sunnatullah, tetapi kamu boleh mengambil bagian dari rahmat-Nya itu, kalau kamu tidak bercerai dengan Dia, keridhaan-Nya hendaklah menjadi keridhaanmu, dan kemauan-Nya hendaklah menjadi kemauanmu, biar kamu maju maupun kalah hendaklah kepala kamu tetap tunduk dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, barulah kamu akan merasakan nur Allah subhanahu wa ta’ala dalam diri kamu, adakah di antara kamu orang yang tak berbuat demikian? Dan kamu jangan merasa kecil hati karena qadha’ dan qadar-Nya, maka melihat kepada musibah-musibah hendaklah kamu bertambah maju kepada-Nya (Allah), karena inilah jalan kemenangan kamu, dan berusahalah kamu sedapat mungkin akan menyebarkan tauhid-Nya di atas muka bumi, cintailah hamba-hamba-Nya, janganlah berlaku aniaya kepada mereka itu, baik dengan tangan, dengan lidah maupun dengan jalan yang lain; berusahalah untuk berbuat kebaikan kepada makhluk, janganlah sombong walaupun terhadap orang yang berada di bawah perintah kamu; janganlah kamu mencacimaki kepada siapapun, walaupun ia mencacimaki kamu; hendaklah kamu bersifat miskin hati, penyabar dan suci hati agar kamu diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala; berapa banyak orang yang nampaknya penyabar akan tetapi hatinya ganas seperti harimau; berapa banyak orang yang bersih pada lahirnya, tetapi batinnya seperti ular, maka kamu tidak akan disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kalau lahir dan batin kamu tidak sama. Orang-orang besar janganlah berani menghina orang-orang yang dipandang rendah, bahkan perlu mengasihi mereka itu; orang-orang alim janganlah berani merendahkan orang-orang bodoh, bahkan perlu memberi nasehat kepada mereka itu; orang-orang kaya janganlah berani menyombongkan diri kepada orang-orang miskin, bahkan perlu menolong mereka itu.
Jauhilah semua jalan kebinasaan, takutlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertaqwalah kepada-Nya dan janganlah menyembah kepada makhluk; tunduklah kepada Allah subhanahu wa ta’ala jangan tunduk kepada dunia; jadilah kamu milik Allah subhanahu wa ta’ala dan hiduplah untuk Dia, dan bencilah kepada segala dosa dan kotoran karena Allah subhanahu wa ta’ala Suci (Dia suka kepada yang suci juga); hendaklah setiap pagi (shubuh) itu meyakinkan bahwa pada malam yang lalu kamu telah hidup dengan taqwa dan hendaklah tiap-tiap malam itu menyaksikan bahwa pada siang yang lalu kamu telah hidup dengan taqwa juga; janganlah takut kepada laknat dunia, karena sebentar saja ia akan hilang seperti asap, akan tetapi perlu takut kepada laknat Allah subhanahu wa ta’ala karena Dia dapat menghapuskan orang yang dilaknat itu; kamu tidak dapat memelihara diri kamu sendiri dengan kebaikan yang berpura-pura karena Allah subhanahu wa ta’ala dapat melihat segala isi hati kamu, apakah kamu dapat menipu Dia? Maka luruslah kamu dan bersih serta sucikanlah dirimu dari dosa-dosa lahir dan batin; dan jagalah dirimu, karena kalau terdapat kegelapan yang sedikit saja dalam hati kamu, maka ia akan dapat menghilangkan segala nur kamu; kalau pada diri kamu ada sifat takabur, ria (berpura-pura) dan kemalasan, maka kamu tidak layak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, janganlah kamu tertipu dengan beberapa perkara saja karena Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kamu agar mengadakan perubahan yang luar biasa dalam diri kamu; berdamailah dengan manusia, berikanlah maaf kepada saudaramu, orang yang tidak suka berdamai itu akan dibuang, karena Dia suka juga mengadakan perpecahan; janganlah menuruti hawa nafsu; meskipun kamu benar perlu juga kamu tunduk dan rendah hati agar kamu diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala; janganlah menuruti hawa nafsu dan janganlah kamu memperbesarkan hawanafsu itu karena orang yang menuruti hawa nafsunya itu tidak dapat masuk pintu kerajaan ruhani.
Betapa sialnya orang yang tidak mendapatkan apa-apa dari Allah subhanahu wa ta’ala sedangkan aku sudah menerangkannya!!!
Kalau kamu ingin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mencintaimu, maka bersatu padulah kamu seperti saudara-saudara yang seibu-sebapak … orang yang jahat tidak dapat berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, orang yang sombong tidak dapat berbakti kepada Allah, orang zhalim tidak dapat berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, orang khianat tidak dapat berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, orang yang tidak cinta dengan sebenarnya kepada-Nya itu tidak dapat berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, orang yang mengejar dunia seperti anjing dan seperti elang mengejar bangkai dan seperti semut mengejar gula itu tidak dapat berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tiap-tiap mata yang jahat itu jauh dari-Nya, tiap-tiap hati yang kotor tidak dapat mengenal Dia; orang yang masuk ke dalam api kesusahan karena Dia itu akan dipelihara dari api Neraka kelak; orang yang menangis karena Dia sekarang akan merasa senang di belakang hari; orang yang membuang dunia karena Dia itu akan dapat bertemu dengan-Nya; Cintailah Allah subhanahu wa ta’ala dengan segenap hatimu dan taatilah dengan setia kepada-Nya sehingga Dia mencintaimu; kasihilah orang yang berada di bawah perintah kamu, kepada orang-orang miskin, dan kepada istri-istri kamu agar kamu dikasihi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dunia ini adalah tempat bahaya dan musibah, maka mintalah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia memelihara kamu dari itu; tidak mungkin akan turun suatu bahaya di atas muka bumi ini selagi belum ada perintah dari atas (Allah) dan tidak mungkin hilang satupun bahaya dari bumi selagi rahmat Tuhan belum turun”
Dan satu pelajaran lagi yang perlu kamu ingat yaitu janganlah engkau anggap Al-Quanul-Majid itu seperti barang yang terbuang (dia adalah satu barang yang tak dapat dinilai harganya), karena hidup (kemajuan) kamu bergantung dengannya, orang yang menghormati Al-Quranul-Majid mereka akan dihormati oleh Allah dan malaikat-malaikat-Nya, orang yang mendahulukan Al-Quranul-Majid daripada segala Hadis dan fatwa-fatwa yang lain, mereka akan didahulukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala; bagi manusia di atas muka bumi ini tidak ada satu pun kitab yang perlu diikuti melainkan Al-Quranul-Majid dan bagi anak-cucu Adam tidak ada lagi Rasul dan orang yang memberi syafa’at selain dari Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bolehkah dikatakan, berkenaan dengan Jamaah Ahmadiyah ini bahwa dia berani menyamakan Hadhrat Ahmad Al-Qadiyani dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tidak, sekali-kali tidak!! Akan tetapi pengarang kitab: “Al-Qadiyaniyah” itu dengan tidak malu-malu berkata:
Jamaah Ahmadiyah mengakukan bahwa pangkat Ahmad Al-Qadiani itu sama dengan pangkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan lebih tinggi daripadanya” (hal. 22)
Laknat Allah alal-kadzibin, beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
“Wahai murid-muridku! Kamu tidak akan menjadi murid-muridku pada sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebelum kamu bertaqwa, maka kerjakanlah shalat dengan khusyu’ seakan-akan kamu melihat Tuhan kamu dalam sembahyang itu; berpuasalah dengan ikhlas karena Allah; tiap-tiap orang yang mempunyai nisab cukup wajib membayar zakat dan orang yang sanggup naik Haji ke Mekkah, dia wajib naik Haji kalau tidak ada halangan apa-apa”.
Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam menyuruh orang-orang Ahmadiyah naik Haji ke Mekkah, sehingga pada tahun 1912 anak beliau Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad pun telah naik Haji ke Mekkah, akan tetapi Pengarang kitab “Al-Qadiyani” itu tidak senang kalau tidak berdusta, dia menuduh Ahmadiyah naik Haji ke Qadiyan
begitu juga orang yang menuduh kita bahwa kita mengakukan bahwa masjid di Baitul-Muqaddas bukan Al-Masjidil-Aqsha. Itu jelas salah faham atau dengan sengaja hendak menipu manusia. Kami Ahmadiyah percaya bahwa Al-Masjidil-Aqsha yang disebutkan dalam surat Al-Isra’ itu ialah yang terletak di Baitul-Muqaddas, tidak ada seorang Ahmadiyah pun yang menafikan hal itu. Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi: “Tiap-tiap kebaikan perlu kamu kerjakan dengan cara yang sebaik-baiknya dan perlu kamu membuang kejahatan dengan membenci kepadanya, yakinlah bahwa tiada satupun amalan yang dapat sampai kepada Allah subhanahu wa ta’ala kalau ia kosong dari taqwa. Asas dan sendi-sendi setiap amalan dan kebaikan ialah taqwa (Kisyti Nuh, hal. 10-14).
Inilah ajaran yang telah diberikan oleh Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam kepada murid-muridnya, apakah demikian ajaran orang-orang kafir dan murtad? Sebagian orang yang ternama seperti Syekh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al-Bana’, Ath-Thanthawi Al-Jauhari, Muhammad Farid Wajdi dan lain-lain itu mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Mesir, akan tetapi pengaruh itu dipergunakan untuk mengadakan perolehan dalam hal dunia bukan untuk mengadakan perolehan dalam hal ruhani, oleh karena itulah Mesir yang dipandang oleh seluruh umat Islam sebagai “Pusat ilmu pengetahuan Ruhani” itu kosong belaka dari gerakan-gerakan ruhani. Bermacam-macam gerakan untuk merebut kekuasaan dunia telah timbul di sana, akan tetapi belum ada satu pun gerakan yang diadakan untuk mencari kemerdekaan dari penjajah yang sangat zhalim (Iblis) itu, memang ada gerakan yang diadakan dengan nama agama seperti Ihwanul-Muslimin dan sebagainya akan tetapi tujuannya pun hanya merampas kekuasaan dunia saja. Pendek kata tidak ada di antara mereka itu seorang pun yang telah menetapkan kesucian ruhani sebagai syarat untuk menjadi muridnya, oleh karena itulah dinegri itu senantiasa berlaku huru-hara dan selalu timbul keributan dan kerusuhan yang mengharukan fikiran rakyat pada umumnya. Adapun pekerjaan Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam berasaskan kesucian ruhani semata-mata, beribu-ribu orang yang sudah membersihkan dirinya karena teladan yang suci, beratus-ratus orang yang sudah dikorbankan harta bendanya, bahkan jiwanya untuk memajukan Islam karena pengaruh ajaran beliau ‘alaihis salam yang murni, dan berlaksa manusia yang sudah dapat keimanan dan keyakinan karena mu’jizat yang diperlihatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan perantaraan beliau. Jadi, Jamaah beliau dalam segala hal menuju kepada keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi tidak pula ketinggalan dalam hal duniawi.
Beliau ‘alaihis salam telah menyatakan kepada manusia bahwa agama Islam mempunyai hidup ruhani, siapa saja yang hendak mencari hidup ruhani perlu dia mengikuti Islam, tidak seorang pun yang dapat hidup ruhaninya dengan meninggalkan Islam, siapa yang hendak mendengar suara Allah, siapa saja yang hendak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, dan siapa yang hendak mendapatkan ruhani dia perlu mengikuti Penghulu semua Nabi, yaitu Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau tidak dia tidak akan mendapatkan apa-apa, saya adalah bukti yang nyata dalam hal ini, kata beliau.
Suara ini belum pernah didengar oleh manusia di abad 14 ini dari Ulama Islam tersebut, apalagi dari agama lain, dengan berkat suara beliau orang yang sudah mati sedang dihidupkan, orang buta penglihatan dan orang-orang pekok diberi pendengaran, dan tidak berapa lama lagi Islam akan maju dan menang, dan umat Islam akan dimuliakan lagi oleh Allah insya Allah, pada waktu itu semua orang yang mengafirkan dan memurtadkan beliau akan menyesalkan kelak dan akan mengakui seperti saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam: INNAA KUNNAA KHOOTI’IIN.